Oleh: Beted

November, 2014. Kop stand—salah satu komunitas suporter Liverpool—berontak protes karena pihak Liverpool menaikkan harga tiket dan menyindir mereka dengan banner besar bertuliskan “Let me tell you a story of a poor boy” yang diambil dari penggalan lagu “Poor scouser Tommy” . Tidak hanya itu, mereka juga menyertakan banner ilustrasi lonjakan harga tiket yang dimulai pada periode 1990 hingga 2010. Di mana di awal 90an tiket kandang Liverpool dijual hanya seharga empat pounds. Kemudian pada awal 2000 mengalami kenaikan dan menjadi 24 pounds.

Sedangkan pada 2010, harga tiket kembali melonjak hampir dua kali lipat harga awal 2000. Apa yang dilakukan oleh fans Liverpool adalah luapan hati mereka yang merasa diperas oleh manajemen klub untuk mendukung tim kesayangan mereka berlaga.

2 tahun berselang, sekitar 10 ribu suporter The Reds yang menyaksikan pertandingan Liverpool melawan Sunderland di Anfield, Sabtu (6/2/2016) akhir pekan lalu, melakukan aksi protes atas rencana klub menaikkan harga tiket menjadi 77 poundsterlling untuk musim depan.

Para pendukung Liverpool melakukan aksi meninggalkan stadion ramai-ramai di menit 77. Aksi para suporter itu mendapatkan dukungan dari dua legenda Liverpool, Jamie Carragher dan juga Ryan Evans. Liverpool sendiri kebobolan dua gol usai menit 77 hingga harus mengakhiri pertandingan melawan The Black Cats dengan skor akhir 2-2.

————————————————————-

Jikalau Suporter sekelas suporter Liverpool yang jelas-jelas memiliki kemampuan finansial diatas Bonek, saja berontak, apalagi Bonek? Dan bukan hal yang mengherankan—dan pertama kalinya—melihat suporter menentang kebijakan klub kecintaannya jika berlawanan dengan hati nurani, terutama masalah harga tiket.

Jawapos selaku pemilik Persebaya perlu memikirkan langkah-langkah yang lebih baik lagi untuk Bonek kedepannya, selain masalah harga tiket. Sustainable yang merangkul. Buat apa pembelian tiket dengan sistem 1 tiket 1 ID jika akhirnya masih bisa kebobolan Calo? Apa bedanya dengan sistem konvensional dulu?
Untuk apa gembar-gembor “Stadion ramah keluarga” jika pada akhirnya stadion sendiri tak membikin ramah suporter? Ingat, stadion hakikatnya milik suporter. Rumah bagi para suporter. Melarang kreativitas suporter di stadion, sama halnya melarang mereka untuk mendukung tim pujaannya. Bukankah tugas suporter adalah to support? Untuk mendukung? Stadion, jelas bukanlah Bioskop, dimana penonton hanya menonton, berseru, tertawa, menangis kemudian pulang dan berlalu biasa saja. Stadion lebih dari itu. Suporter di stadion yang menonton tim pujaannya bertanding, jauh lebih emosional dari penonton bioskop.

BACA JUGA  Di "Evaluasi" Bonek Di Mixed Zone, Munster Janji Akan Lebih Baik, Dan Meminta Dukungan Positif

Jim Keoghan, penulis buku Punk Football: The Rise of Fan Ownership in English Football, mengingatkan: “Jika Bioskop menyajikan film yang jelek, kita takkan menontonnya lagi. Jika restauran menyajikan makanan yang tidak enak, tentu tidak akan kita kembali kesana lagi.”

Masih menurut Keoghan, suporter sepak bola memiliki komitmen untuk banyak hal: tak hanya komitmen untuk menang, tapi juga untuk kecewa berkali-kali. “Pendukung sepak bola berkomitmen untuk dikecewakan, membayar untuk menonton pertandingan omong kosong dan melepaskan kesempatan untuk menikmati kebahagiaan di tempat lain. Dan mereka melakukan hal ini tahun ke tahun, mengulangi siklus yang sama seperti binatang di kebun binatang, dipenjara,” katanya.

Komitmen ini seumur hidup. Loyalitas tak terbatas. Tak heran jika suporter sepak bola melakukan hal-hal yang tak akan dilakukan penggemar film untuk menunjukkan eksistensi mereka. Salah satunya adalah aksi boikot, dan kita bisa menatap fenomena ini di tiga negara dalam tiga kasus berbeda: Inggris, Italia, dan Indonesia.