Oleh: Radian Danni Pranata

Halo Persebaya apa kabarmu? Sedang bersiap menghadapi PSMS Medan ya? Semoga sukses ya, kemenanganmu akan jadi kado penghibur yang manis bagi mereka – mereka yang menyambut malam minggu sambil meringis karena hati mereka teriris. Bisa jadi karena jomblo menahun atau karena baru putus setelah pacaran 9 tahun. Itu pacaran apa kredit rumah?

Perkenalkan saya bonek, sudah tahu? Oh ya syukurlah. Saya jadi tidak perlu menulis panjang lebar apa itu bonek, bagaimana sejarahnya, dan siapa – siapa saja yang sekarang dengan bangga menyandang sebutan bonek dalam kehidupan kesehariannya. Toh seharusnya data – data itu ada di manajemen yang mewajibkan pembelian tiket dengan fotokopi KTP. Lagipula kalau saya menulis nama seluruh bonek yang ada surat ini akan lebih panjang dari novel Dilan 1990. Itu berat. Kau takkan mampu. Saya pun juga tak mau.

Saya mengenalmu sejak kecil, seingat saya adalah sebuah foto di ruang tengah kakek buyut saya di Ngadirojo, sebuah kecamatan di Pacitan yang pertama kali memperkenalkan saya denganmu. Tak ada nama – nama pemain disitu, foto itu sudah menguning tapi dia tak dipindah ke ruang lain dan dibiarkan saja disitu. Saya bukan orang Surabaya awalnya, tapi saya beruntung mewarisi darah penggila bola dari kakek – kakek saya. Sepertinya genetika itu meloncati orang tua saya karena mereka tidak begitu menyukai sepakbola, bapak saya suka tinju dan ibu saya suka naik gunung. Dari (almarhum) kakek saya di Jember saya mengenal sepakbola lebih dekat, beliau adalah pengelola salah satu klub lokal tangguh dulu, katanya sih pernah “ngebon” pemainmu juga.

Perkenalan saya denganmu berlanjut saat saya mulai lancar membaca, melalui Tabloid BOLA dan SOCCER yang meraja kala itu saya mulai mengenal pemain – pemain seperti Uston Nawawi, Bejo Sugiyantoro, Hendro Kartiko, Aji Santoso, Anang Maruf, Musa Kallon, Roni Pereira, Ever Barrientos, Agus Murod, Andi Iswantoro, Reinold Pietersz. Warna hijaumu pun mulai terus membekas di memori, permainanmu di lapangan yang saya saksikan di TV (kala itu saya tidak tinggal di pulau Jawa) membuat saya kagum setengah mati. Inilah Persebaya Surabaya, kiblat sepakbola nasional yang layak untuk dikagumi.

BACA JUGA  Siap Hadapi Barito, Munster : "Kami Masih Berpotensi Untuk Juara"

Pertalian saya denganmu semakin erat saat adik dari bapak saya menikah dengan kerabat dari pemain mungil nan lincah bernomor punggung sepuluh yang saat itu memperkuatmu, Rahel Tuasalamony. Sempat kami bersua di rumah Om di kawasan Sidoarjo dan saya tidak menyadari bahwa yang berdiri di hadapan saya adalah pemain yang beberapa hari lalu baru mencetak gol kemenangan. Berkesempatan liburan di Surabaya membuat saya akhirnya bisa menjejakkan kaki di stadion kebanggaan Gelora 10 November, saat itu saya merasa sudah lengkap, stadion menjadi Sanctuary saya disahkan menyandang sebutan Bonek.

Waktu terus berlalu, peristiwa demi peristiwa menimpamu. Tak perlulah saya rinci setiap peristiwa itu, ada rasa sesak yang masih tersisa di hati. Lagipula saya bukanlah tipe orang yang suka tenggelam dalam kenangan masa lalu. Kamu sempat tertidur cukup lama, menghandirkan rindu yang mendalam bagi kami yang selalu bersemangat karenamu. Dilan sih cupu, masih SMA bilang rindu saja berat, lah kami? 5 tahun menanti bangunmu dengan sabar, bayangkan sendirilah kerinduan macam apa yang membebani kami selama 5 tahun itu. Dilan mah kalau nggak sama Milea juga nanti bisa sama Juminten atau Markonah. Kami? Kalau bukan pada Persebaya lalu pada siapa lagi? Tak mungkin bagi kami berpindah ke lain hati.

Kini kehadiranmu kembali telah memberi energi tersendiri bagi kehidupan saya pribadi, kaos berwarna hijau bertuliskan Wani pun lebih sering saya gunakan lagi, bahkan saat pekerjaan harus membawa saya ke kota sebelah gunung sekalipun. Pokoke Wani, perkoro ketemu musuh yo urusan mburi. Awalnya saya berkata dalam hati, saatnya kembali ke Stadion dan mendukungmu langsung dengan berteriak dan bernyanyi tanpa henti. Tapi apa daya, saya yang sekarang bukanlah saya yang dulu, proses pendewasaan diri bertahun – tahun membuat saya melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang termasuk dalam perkara mendukungmu.

BACA JUGA  Flavio Termotivasi Untuk Curi Poin Penuh Di Solo

Saya mulai merasa mereka yang mengurusimu tak lagi menganggap kami sebagai partner terbesarmu. Entahlah apa yang terjadi, saya merasa diperlakukan sebagai seorang konsumen dan bukan suporter. Nama besarmu dimanfaatkan untuk berjualan, fanatisme kami kepadamu dipakai untuk meraup rupiah demi rupiah, alasannya untuk menghidupimu. Awalnya saya tidak keberatan tapi lama kelamaan saya tidak tahan. Saya memutuskan untuk mendukungmu dari tempat saya berada saja, lewat doa, bersama secangkir kopi dan sepiring gorengan, menyaksikan penampilanmu lewat layar kaca.

Harapan besar sempat membuncah di hati saya saat kamu lolos ke Liga 1 bahkan dengan status juara Liga 2. Meski sejujurnya hal itu tidak perlu dibanggakan (Juventus aja nggak ngebanggain gelar Serie Bnya kok). Saya sempat berharap akan banyak pemain berkualitas merapat ke tim, sempat juga berharap datangnya pemain – pemain asing yang kompeten dan berkualitas tinggi. Batin saya kala itu, jika tim lain mampu kenapa Persebaya tidak? Tapi harapan tak sesuai kenyataan, logika saya kebingungan menerima fakta tentang beberapa pemain yang dicoret dan direkrut. Buat apa membuang pemain cadangan lalu merekrut pemain yang lebih sering jadi cadangan juga? Juga tak ada nama – nama asing berkualitas, yang datang adalah mereka yang sudah memasuki masa akhir karirnya, Dutra dan Pugliara sudah berusia diatas 32 tahun, ayolah.. mereka bukanlah Maldini dan Pirlo yang makin tua makin jadi. Mungkin mereka masih cukup layak untuk memperkuatmu, tapi membawamu berprestasi? Jujur saja saya sangsi itu akan terjadi. Mek iso ngowoh pek ndelok pemain koyok Marko Simic, Ilija Spasojevic, Michael Essien, Makan Konate, Bruce Ndjite .. Mosok seh Persebaya ra nduwe duwek gawe ngerekrut pemain – pemain iku? Sak eruhku Azrul Ananda cukup lihai gawe nekakno sponsor, dan wong iki yo ngerti banget soal branding .. sakjane onok opo?

BACA JUGA  Dime Dan Tumbas Belum Dijaminkan Turun Saat Melawan PSS Sleman

Untuk manajemen yang mengurusimu, apa yang kalian lakukan? tak bisakah kalian lebih baik mengurusi tim? tak bisakah kalian memandang kami sebagai suporter? Loyalitas kami mungkin tanpa batas, tapi rasa kesal kami bukan tak terbatas. Kalian pun seolah anti kritik, ruang diskusi terbuka lewat sosial media pun lebih banyak kalian acuhkan bahkan kunci hingga tak ada yang bisa menulis di kolom komentar. Mungkin kalian berpikir dibiarkan pun stadion akan tetap rame, toko merchandise kalian akan tetap kebanjiran pembeli setiap hari, sungguh kalian saat ini berada di zona nyaman, bahkan memiliki loyalis yang tak gentar membela kalian. Bonek seperti saya ini mungkin hanya 1 dibanding 1000, saya pun yakin tak lama tulisan saya ini akan mendapat komentar – komentar lucu yang bikin saya ingin ngelus dada, stempel Bonek Maido, Maido FC, Andikmania, dll akan saya dapatkan segera setelah tulisan ini diterbitkan. Saya tak peduli dengan itu semua karena bagi saya, kalian (manajemen) dan saya tidak lebih besar dari Persebaya, saya akan tetap kritis dan mendukung Persebaya dengan doa di depan layar kaca .. gapapa kan ya? toh ada pemasukan dari iklan ini.. kalian juga bisa manfaatin media sosial buat menjaring lebih banyak dana. Karena kalau boleh jujur, desain merchandise kalian masih kalah sama yang banyak beredar di Tambaksari dan sekitarnya.