Mari melihat kembali sejenak ke Celebration Match Persebaya vs PSS Sleman sabtu kemarin. Lalu kita mundur lebih jauh lagi ke Homecoming Game menghadapi PSIS Semarang. Apa kesamaan kedua pertandingan itu?
1. Kedua pertandingan tersebut diadakan sebagai sebuah perayaan bagi Persebaya, yang pertama perayaan kebangkitan, yang kedua perayaan meraih gelar juara dan promosi ke Liga 1.
2. Kemacetan parah yang terjadi sebelum dan sesudah pertandingan, menuju dan dari Gelora Bung Tomo.
Saya menjadi bagian dari mereka yang terjebak macet saat Homecoming Game, mencapai stadion saat pertandingan telah berlangsung dan menjejakkan kaki di rumah saat jam sudah menunjukkan angka 23.00, itu pun dalam kondisi basah kuyup karena tak bisa mengelak dari hujan. Saya tidak menjadi bagian dari mereka yang hadir ke stadion saat Celebration Match, sebuah pekerjaan dan kunjungan keluarga membatalkan saya untuk ikut larut dalam riuh rendahnya stadion.
Ada yang bilang situasi Celebration Match lebih parah dari Homecoming Game, pola distribusi yang aneh hingga calo yang merajalela mengakibatkan banyak orang kesulitan untuk mendapatkan tiket pertandingan. Pada saat sampai ke stadion setelah berjibaku dengan kemacetan ternyata stadion sudah terisi penuh, setidaknya itu pengakuan mereka yang bertugas menjaga akses masuk tribun. Sementara itu banyak pemegang tiket resmi dan asli yang tidak memperoleh haknya untuk masuk ke dalam stadion walau hanya 5 menit, mereka dihalang – halangi, ada juga yang memilih pasrah dan berbalik arah.
Ada apa ini sebenarnya?
Kenapa tribun bisa terisi penuh tapi pemilik tiket tidak bisa masuk? Adakah penonton selundupan? Tiket palsu yang tidak terverifikasi lolos dari pantauan? Ataukah penjualan tiket memang diatas kuota yang beredar di media? Segudang pertanyaan muncul melihat kekacauan yang terjadi.
Beberapa dedengkot bonek ikut bersuara, rata-rata mengkritisi cara manajemen mengelola pertandingan. Tapi tak ubahnya drama pilkada DKI Jakarta yang absurd itu, muncul pula bonek – bonek yang membela manajemen dengan “sukarela”. Bagi mereka manajemen tidak bersalah, manajemen telah berhasil mengantar Persebaya kembali ke habitatnya di kompetisi tertinggi sepakbola Indonesia, yang salah adalah pemerintah kota Surabaya yang tidak menyediakan akses memadai menuju kompleks olahraga yang disebut Surabaya Sport Center itu.
Apakah itu salah? Tidak.
Mereka mau mengapresiasi manajemen dan itu adalah hak, tapi saat mereka kemudian menyalahkan bonek – bonek lain yang mengkritisi manajemen maka mereka salah. Sangat salah. Karena mereka telah menghalangi rasa cinta sesama bonek pada tim kesayangannya, yang ingin Persebaya menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Betul, Pemkot Surabaya Salah tapi bukan berarti manajemen Persebaya benar. Mereka salah karena ternyata mereka tidak mau belajar. Permasalahan yang terjadi kemarin adalah sebuah pengulangan, bukan problematika baru yang muncul mendadak. Animo bonek hanya mereka pandang sebagai potensi meraup keuntungan tapi resiko – resiko yang terjadi ditepikan bahkan mungkin tidak dihiraukan. Dalam etika dagang sederhana, pembeli yang sudah membayar tentu berhak memperoleh barang/jasa yang ditawarkan oleh pedagang, bagaimana ceritanya saat seseorang sudah membayar sebuah barang eh barang tersebut malah diberi gratis ke orang lain? Tanyakan pada beberapa orang pemegang tiket resmi yang telah membagi keluh kesahnya di media sosial bagaimana kecewanya mereka. Gaung slogan #NoTicketNoGame dan kecintaan membuat orang rela menabung membeli tiket pertandingan, tapi yang terjadi setelah pertandingan justru kalimat tersebut berubah menjadi #HaveTicketCantWatchGame.
Manajemen Persebaya harusnya menyadari saat mereka menjual tiket ada tanggung jawab yang mengiringi yaitu memastikan si pemilik tiket dapat menonton pertandingan! Tapi mereka alpa disitu, seolah – oleh mereka berkata,
“sing penting aku wis ngedol tiket nang awakmu, perkoro yaopo koen mlebu stadion iku urusanmu.”
Kalau sudah begini apa tanggapan
manajemen? Sampai hari ini tidak ada. Kalah donk sama penjual sego bebek pinggir jalan yang kalau kita komplain bebeknya kurang matang maka akan digorengkan bebek baru dan dipastikan matang.
Kemacetan yang terjadi di laga tersebut bisa dikatakan menjadi kesalahan kedua belah pihak, manajemen dan juga pemerintah kota Surabaya. Sekali lagi manajemen tidak belajar dari kejadian yang lalu, akibatnya kickoff pertandingan harus mundur karena bis yang membawa para pemain juga terjebak dalam kemacetan hingga akhirnya mereka turun dan berjalan kaki hingga ke lapangan.
Gelombang bonek yang terus berdatangan sepertinya lepas dari pengelolaan resiko mereka yang katanya sudah berpengalaman mengelola event olahraga level internasional. Seandainya dari awal mereka bisa mengatur jadwal kedatangan suporter —yang sudah dipastikan berjumlah sangat besar—tentu akan lebih nyaman. Tapi anehnya, tidak, kan? Bahkan sampai ada rekan – rekan BCS yang turut terjebak dalam kemacetan dan tidak bisa ikut menyanyi “Sampai Kau Bisa” yang menggema sepanjang pertandingan. Lucu kan sebagai tuan rumah sudah mengundang eh tamunya malah sampai pintu rumah saja tidak bisa. Apa tidak malu?
Sempit dan sedikitnya akses menuju Gelora Bung Tomo menjadi penyebab utama kemacetan, belum ditambahi dengan mobilitas kendaraan yang lalu lalang menuju dan dari Gresik. Disini kesalahan terletak pada Pemerintah Kota Surabaya, mereka bukan hanya bersalah pada bonek tapi juga pada warga kota Surabaya. Konon Surabaya Sport Center dibangun sebagai fasilitas publik yang dapat digunakan oleh warga kota dan diharapkan dapat menjadi icon kota. Areal ini diresmikan sejak tahun 2010 dengan stadion megah berkapasitas 55000 orang sebagai pusatnya. Tapi yang terjadi kemudian, sudah 7 tahun berjalan tidak ada perubahan berarti, tidak ada pula gegap gempita kegiatan warga dilakukan disana, akses jalan pun tidak banyak berubah sejak kompleks megah itu berdiri. Warga pun malas untuk menuju SSC & GBT, lokasi yang sangat jauh, ditambah area yang panas dan berbau menyengat membuat banyak orang
enggan menuju kesana untuk beraktivitas. Ada yang salah dengan perencanaan tempat ini? Adakah perhitungan berbagai resiko yang dilakukan sebelum pembangunannya? Hal itu
patutnya kita pertanyakan pada jajaran Pemkot Surabaya.
Ayo berpikir bijak, teman – teman bonek yang kritis pada manajemen bahkan cenderung keras bukan berarti mereka tidak menyayangi Persebaya bahkan justru mereka – mereka ini yang ingin Persebaya lebih maju. Pun mereka yang mengapresiasi manajemen dan menyalahkan pemkot juga tidak salah. Kita tidak perlu saling menyerang pendapat dan pilihan masing – masing. Ayo dorong kedua pihak itu untuk terus berbenah, baik itu manajemen maupun pemerintah kota, kita punya hak untuk itu, karena kita membeli tiket dan kita pun membayar pajak. Sudah sepatutnya sebagai bonek dan juga sebagai warga kota, kita turut andil dalam
membuat semuanya menjadi lebih baik, Persebaya dan juga Surabaya. Tabik.
BACA JUGA  Madura United vs Persebaya 2024: Jelang Derby Suramadu