Sama sekali bukan mau mengenang masa lalu, tapi sewaktu Green Force ditangani Alfredo Vera (AV), Persebaya sebenarnya sudah punya karakter permainan yang kuat, semacam “Gegen Pressing” alias pressing ketat kepada lawan dan permainan tempo tinggi sepanjang laga. Saya sangat senang melihat permainan Persebaya yang menganggap bola sebagai roh permainan, dan oleh karenanya harus selalu dijaga dan dimiliki. Jika lepas, harus segera direbut kembali. Itu sebabnya lawan-lawan Persebaya selalu kesulitan melawan Green Force.
Tapi seperti yang slalu saya tekankan di awal musim, bahwa Liga 1 adalah kompetisi yang sangat berbeda dengan Liga 2, baik itu dari level skill, stamina, serta tentunya taktik dan strategi. Oleh karena itu dibutuhkan pemain yang cocok dengan kondisi itu, dan yang pasti gap skill antara pemain cadangan dengan inti jangan terlalu jomplang agar bila diterpa badai cedera atau tiba-tiba dipanggil timnas maka kekuatan tim tidak berkurang.
Namun dengan berbagai dalih dan alasan bak adegan telenovela, manajemen Persebaya lebih senang menggelar drama yang tidak perlu dalam perekrutan pemain. Dimulai dari plan perekrutan pemain top dari Argentina yang ternyata cuma omong kosong belaka, rencana transfer Andik Vermansah yang juga cuma “tong kosong nyaring bunyinya ” serta banyak rumor soal perekrutan pemain lain. Ujung-ujungnya sampai transfer window tahap I Persebaya “cuma” dapat paket pemain asal Papua dan David da Silva serta pemain asing yang udah uzur macam Otavio Dutra dan Robertino Pugliara.
Saya tidak bilang bahwa para pemain Papua dan pemain asing Persebaya itu jelek. Mereka bagus koq. Tapi sayang banyak kendala yang terjadi. Para eks Persipura itu sampai sekarang belum juga bisa menyatu dengan permainan Persebaya dan satu lagi problem akut Persebaya sepanjang musim: badai cedera.
Badai cedera inilah yang pelan-pelan menggerogoti performa Persebaya. Di awal musim Persebaya masih bisa bercokol di papan tengah atas. Namun saat AV meninggalkan Persebaya, Green Force udah mulai terperosok di papan bawah.
Manajemen Persebaya sudah tahu apa yang salah di timnya, namun entah kenapa tidak melakukan sesuatu yang memadai di transfer window tahap II. Yang diambil lagi-lagi pemain uzur macam OK John dan Rafa Maitimo. Nama kedua lebih parah lagi, karena lebih sering berada di atas meja perawatan daripada di atas lapangan.
Karena mulai terpuruk di klasemen, beberapa pergantian dilakukan, seperti manajer Abud yang banyak dikritik, AV sebagai pelatih dan juga dokter tim diganti semua.
Tapi ya itu tadi, dari awal basic pembentukan pemain Persebaya udah kurang pas. Pemain baru asal Papua kurang cocok dengan karakter main Persebaya, pemain lama cuma level Liga II dan pemain asingnya mayoritas udah uzur (kecuali Da Silva) dan parahnya, semua pemain rentan cedera.
Djanur? Sulit berharap banyak dari beliau karena masuk di tengah musim. Terlalu sering berganti pelatih (AV, Bejo, dan Djanur) malah membuat Persebaya makin kehilangan karakter permainan. Lihat aja cara main vs Borneo semalam. Pola main gak jelas walaupun hasrat untuk menang itu ada.
So what’s next?
Mulailah berdoa agar Persebaya tidak terdegradasi musim ini. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain itu.
Jika Tuhan memberikan “kehidupan kedua” (baca: tidak degradasi), manajemen Persebaya harus berjanji untuk tidak mengulang semua hal bodoh di musim ini. Stop membual dengan bahasa bombastis ke Bonek seperti “sustainable” dan segala macam.
Intinya cuma saru berinvestasilah dengan membentuk suatu “Golden Generation” yang menangan. Setelah itu barulah semua plan bisnis yang direncanakan manajemen Persebaya baru bisa lancar.
Sanggup gak mewujudkan hal itu? Harus bisa!. Kalo gak sanggup ya sebaiknya segera mencari konsorsium yang punya dana kuat untuk menghidupi tim seperti yang dilakukan Persib Bandung.
Intinya tim ini butuh kemenangan dan kejayaan, bukan cuma plan manis di atas kertas.
Sama sekali bukan mau mengenang masa lalu, tapi sewaktu Green Force ditangani Alfredo Vera (AV), Persebaya sebenarnya sudah punya karakter permainan yang kuat, semacam “Gegen Pressing” alias pressing ketat kepada lawan dan permainan tempo tinggi sepanjang laga. Saya sangat senang melihat permainan Persebaya yang menganggap bola sebagai roh permainan, dan oleh karenanya harus selalu dijaga dan dimiliki. Jika lepas, harus segera direbut kembali. Itu sebabnya lawan-lawan Persebaya selalu kesulitan melawan Green Force.
Tapi seperti yang slalu saya tekankan di awal musim, bahwa Liga 1 adalah kompetisi yang sangat berbeda dengan Liga 2, baik itu dari level skill, stamina, serta tentunya taktik dan strategi. Oleh karena itu dibutuhkan pemain yang cocok dengan kondisi itu, dan yang pasti gap skill antara pemain cadangan dengan inti jangan terlalu jomplang agar bila diterpa badai cedera atau tiba-tiba dipanggil timnas maka kekuatan tim tidak berkurang.
Namun dengan berbagai dalih dan alasan bak adegan telenovela, manajemen Persebaya lebih senang menggelar drama yang tidak perlu dalam perekrutan pemain. Dimulai dari plan perekrutan pemain top dari Argentina yang ternyata cuma omong kosong belaka, rencana transfer Andik Vermansah yang juga cuma “tong kosong nyaring bunyinya ” serta banyak rumor soal perekrutan pemain lain. Ujung-ujungnya sampai transfer window tahap I Persebaya “cuma” dapat paket pemain asal Papua dan David da Silva serta pemain asing yang udah uzur macam Otavio Dutra dan Robertino Pugliara.
Saya tidak bilang bahwa para pemain Papua dan pemain asing Persebaya itu jelek. Mereka bagus koq. Tapi sayang banyak kendala yang terjadi. Para eks Persipura itu sampai sekarang belum juga bisa menyatu dengan permainan Persebaya dan satu lagi problem akut Persebaya sepanjang musim: badai cedera.
Badai cedera inilah yang pelan-pelan menggerogoti performa Persebaya. Di awal musim Persebaya masih bisa bercokol di papan tengah atas. Namun saat AV meninggalkan Persebaya, Green Force udah mulai terperosok di papan bawah.
Manajemen Persebaya sudah tahu apa yang salah di timnya, namun entah kenapa tidak melakukan sesuatu yang memadai di transfer window tahap II. Yang diambil lagi-lagi pemain uzur macam OK John dan Rafa Maitimo. Nama kedua lebih parah lagi, karena lebih sering berada di atas meja perawatan daripada di atas lapangan.
Karena mulai terpuruk di klasemen, beberapa pergantian dilakukan, seperti manajer Abud yang banyak dikritik, AV sebagai pelatih dan juga dokter tim diganti semua.
Tapi ya itu tadi, dari awal basic pembentukan pemain Persebaya udah kurang pas. Pemain baru asal Papua kurang cocok dengan karakter main Persebaya, pemain lama cuma level Liga II dan pemain asingnya mayoritas udah uzur (kecuali Da Silva) dan parahnya, semua pemain rentan cedera.
Djanur? Sulit berharap banyak dari beliau karena masuk di tengah musim. Terlalu sering berganti pelatih (AV, Bejo, dan Djanur) malah membuat Persebaya makin kehilangan karakter permainan. Lihat aja cara main vs Borneo semalam. Pola main gak jelas walaupun hasrat untuk menang itu ada.
So what’s next?
Mulailah berdoa agar Persebaya tidak terdegradasi musim ini. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain itu.
Jika Tuhan memberikan “kehidupan kedua” (baca: tidak degradasi), manajemen Persebaya harus berjanji untuk tidak mengulang semua hal bodoh di musim ini. Stop membual dengan bahasa bombastis ke Bonek seperti “sustainable” dan segala macam.
Intinya cuma satu, berinvestasilah dengan membentuk suatu “Golden Generation” yang menangan. Setelah itu barulah semua plan bisnis yang direncanakan manajemen Persebaya baru bisa lancar.
Sanggup gak mewujudkan hal itu? Harus bisa! Kalo tidak sanggup ya sebaiknya segera mencari konsorsium yang punya dana kuat untuk menghidupi tim seperti yang dilakukan Persib Bandung.
Intinya tim ini butuh kemenangan dan kejayaan, bukan cuma plan manis di atas kertas.
By: Iwan Rachmadi